Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Soeharto dalam Cerpen Indonesia

Judul: Soeharto dalam Cerpen Indonesia
Penulis: Seno Gumira Ajidarma, YB. Mangunwijaya, dkk.
Penerbit: Jejak, 2006
Tebal: 230 halaman
Kondisi: Buku stok lama (bagus)
Harga: Rp. 35.000 (blm ongkir)
Order: SMS 085225918312


Soeharto adalah tokoh yang sangat penting dalam sejarah Indonesia. Seorang yang mampu berkuasa dalam sebuah negeri yang berpenduduk 200-an juta jiwa selama 32 tahun tentulah manusia yang memiliki kekuatan dan kemampuan memimpin yang luar biasa. Seorang yang dapat "mempersatukan" sekian ratus kelompok etnik dan kebudayaan menjadi suatu republik yang disegani, dan yang pada suatu saat pernah diperhitungkan sebagai salah satu macan ekonomi Asia, pastilah manusia yang memiliki strategi pengaturan kekuasaan yang juga luar biasa baiknya. Situasi yang diciptakannya itu tentu saja telah menimbulkan korban, sebab tidak pernah dan tidak akan pernah ada keadaan yang tidak memakan korban. Dalam zaman-zaman sebelumnya di negeri kita ini juga banyak yang dikorbankan demi berlangsungnya kekuasaan. Jika yang menjadi korban itu mampu menyusun kekuatan, dan jumlahnya semakin besar, kecenderungan yang kemudian muncul adalah penumbangan kekuasaan.

Kekuasaan sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang terbentuk selama pemerintahan Soeharto tidak hanya terasa di lapisan atas, tetapi sampai ke lapisan masyarakat yang paling bawah. Seperti juga zaman sebelumnya, yang oleh Soeharto disebut sebagai Orde Lama, yang oleh Soekarno sendiri disebut sebagai sistem demokrasi terpimpin, lapisan-lapisan masyarakat kita meniru segala sesuatu yang dilakukan oleh lapisan teratas di sekeliling Soeharto. Sebab, jika tidak mereka akan disebut pembangkang, yang dalam pemerintahan Soekarno disebut kontrarevolusioner, dalam pemerintahan Soeharto digambarkan sebagai tidak Pancasilais. Mereka inilah korban, ditindas oleh kelompok-kelompok yang di zaman Soekarno menyebut dirinya progresif revolusioner, yang dalam masa pemerintahan Soeharto mencap dirinya sebagai Pancasilais.

Sejarah, konon, akan terus berulang sehingga ada baiknya jika kita belajar dari sejarah. Sejarah, kata para sejarawan, ditulis oleh pihak yang menang. Dan sastrawan ternyata bukan sejarawan yang mengikuti keyakinan itu. Sastrawan "hanya" memberikan tanggapan terhadap apa yang terjadi di sekitarnya, sekaligus memberikan penilaian pribadinya. Dan seperti yang terjadi di mana pun, meskipun sebagian tidak termasuk yang menjadi korban penindasan, para sastrawan memiliki kecenderungan yang sangat kuat untuk memberikan simpati kepada yang tertindas. Itulah, menurut keyakinan sementara orang, hakikat kesusastraan. Sikap ini universal, meskipun pada kenyataannya, setidaknya di masa lampau ketika sistem pengayoman jauh berbeda, sastrawan berada dalam pengayoman penguasa dan oleh karena itu menciptakan karya sastra yang kebanyakan menyanjung-nyanjung pengayomnya. Menciptakan fiksi yang disulap menjadi fakta. Kita tahu, dalam banyak karya sastra klasik para sastrawan bahkan menciptakan fiksi mengenai asal-usul raja yang kemudian oleh takyat banyak dianggap sebagai fakta.

Itu semua terjadi pada Soeharto ternyata. Kulit depan buku yang kita bicarakan ini, Soeharto dalam Cerpen Indonesia, menggambarkan Soeharto sebagai seorang raja Jawa lengkap dengan atribut kebesarannya, duduk di atas singgasana, dalam pose strereotip yang memancarkan kekuasaan. Di zaman yang meyakini sastra sebagai salah satu barang dagangan, kulit depan adalah alat utama untuk memancing perhatian pembaca. Yang harus eye-catching. Yang sebaiknya mewakili apa yang tercantum di dalam buku, meskipun hal ini sangat sering tergusur oleh ciri yang pertama itu. Kulit depan buku ini memberikan kesan kebesaran Soeharto, seorang Jawa yang menjadi "raja Jawa" di Indonesia, yang sekaligus juga memberikan konotasi kekuasaan dan kesewenang-wenangan. Yang terakhir itu terutama muncul pada akhir pemerintahan Soeharto, ketika semakin banyak yang (merasa) tertindas dan semakin luas kekuatan yang menentangnya.

Dalam masyarakat di mana pun sastra mempunyai fungsi yang tidak pernah tunggal. Jika pantun boleh dipergunakan untuk mewakilinya, sastra boleh dipergunakan untuk menyebarluaskan agama, menggambarkan cinta kasih, mengungkapkan perasaan remaja, menggoda kita untuk tertawa, bahkan sekadar mengajak kita bermain-main. Dan, tentu saja, juga untuk menyampaikan kritik dan kemarahan terhadap segala sesuatu yang terjadi di sekeliling kita. Fungsi yang disebut terakhir itulah terutama yang dipilih oleh sejumlah penulis cerpen yang karyanya dihimpun dalam buku ini. YB Mangunwijaya, Seno Gumira Ajidarma, Taufiq Ikram Jamil, F Rahardi, Joni Ariadinata, Indra Tranggono, M Fudoli Zaini, Jujur Prananto, Agus Noor, Sunaryono Basuki KS, Bonari Nabobenar, Moes Loindong, dan Triyanto Triwikromo, mengambil sikap untuk melihat Soeharto dari suatu sisi, yang sampai pada taraf tertentu seragam. Antara lain tentu karena keyakinan bahwa sastra memiliki fungsi untuk membela kaum tertindas. Atau bisa juga dikatakan bahwa strategi Soeharto dalam mempertahankan kekuasaannya berhasil, anrara lain dengan cara memaksakan cara berpikir seragam. Perlu dicatat juga bahwa penulis cerpen ini berasal dari berbagai kelompok etnis, meskipun dominasi Jawa sangat terasa.

MUNGKIN sekali para penulis itu tidak secara langsung menciptakan fiksi tentang Soeharto, dan oleh karena itu judul buku ini bisa saja menjadi tidak tepat. Tetapi, itulah kesan yang bisa tertangkap. Dalam pengantar bagus yang ditulis oleh M Shoim Anwar, antara lain dikatakan bahwa "rimba persilatan Indonesia menemukan jurus-jurus untuk menghadapi publiknya." Dikatakan juga bahwa "habitat" utama cerpen kita adalah koran dan majalah. sehingga, kata Shoim Anwar, "Cerita pendek kita akhirnya mengikuti tradisi jurnalistik memburu keaktualan." Mungkin yang dimaksudkannya adalah sensasi. Terutama jika disadari bahwa begitu banyaknya media massa cetak bersaing di negeri kita ini sehingga salah satu "jurus" yang dianggap mujarab adalah menciptakan sensasi. Dan sensasi tidak hanya harus ada dalam fakta, ia bisa saja berupa fiksi. Bahkan, karena kemampuan berkhayal sastrawan dianggap agak lebih tinggi dari rata-rata orang, sensasi dalam cerita bisa menjadi lebih dahsyat dari sensasi dalam berita. Setidaknya dalam kumpulan cerpen ini muncul kesan bahwa segala sesuatu yang terjadi di Indonesia ini, untuk meminjam kata pengantar editor, "Soeharto-lah yang harus bertanggung jawab."

Apa yang diciptakan oleh para penulis cerpen dalam kumpulan ini tentu saja bisa ditujukan terhadap rezim jenis apa saja, di sini maupun di negeri lain. Kekuasan bisa menjadi tanpa batas dan merepotkan banyak pihak. Ini universal. Kemudian muncul kecenderungan di kalangan sastrawan untuk membela para korban kekuasaan. Ini juga, tentu saja, universal. Selama kekuasaan itu masih belum tergoyahkan, para sastrawan mencari berbagai cara untuk menyiratkan atau "menyembunyikan" kemarahan dan kejengkelannya dalam bebagai bentuk, simbolik maupun metaforik. Itulah hakikat yang membedakan fiksi dan fakta. Itulah sebabnya, meskipun judul kumpulan cerpen ini menyebut "Soeharto," kita tidak usah kecewa jika di dalam cerpen-cerpen itu kita tidak menemukan nama mantan presiden kita itu.

Dalam sejumlah cerpen yang umumnya sudah mencapai taraf komposisi yang menarik, kita menyaksikan proses pengabadian suatu rezim yang oleh judul buku ini dinamakan Soeharto. Dan, antara lain karena hakikat sastra (dan judul buku ini), Soeharto pun menjadi abadi.

Sapardi Djoko Damono, Penyair